Ketika baru lulus kuliah, tak terbersit niatku menjadi orang kantoran. Malah aku ingin bekerja di daerah terpencil, sambil melalang buana. Berbekal tabungan sisa beasiswa, aku memulai perjalanan ke Indonesia Timur, jalan-jalan sambil mencari peluang pekerjaan di sana. Mulai aku menjelajah Bali, Lombok, Sumbawa dan Flores. Pamit ke ibu kubilang akan bekerja di peternakan kuda milik seorang kawan di Sumbawa. Padahal tak ada satu pun kawanku asal Sumbawa. Aku berbohong agar diijinkan pergi.
Di bulan kedua kondisiku sedikit membaik. Ada peningkatan. Aku menjadi spesialis kolomer. Betul, aku hanya bisa menulis berita dalam satu kolom. Itu pun setelah diposkan di RS, IRD maupun kamar mayat. Misalnya kasus pembuangan bayi, mutilasi, pembunuhan, perkosaan, dan lain-lain. Berita yang kutulis pun bentuknya seperti : Ditemukan mayat bayi di tepi Kali Surabaya, jam 10.00 oleh Suwarno, pemulung setempat. Diduga mayat bayi yang terbungkus dalam tas kresek hitam itu hasil hubungan gelap. Polisi masih melacak pelaku pembuangan bayi tersebut. atau Malang nian nasib Ms, 17 th. Prt itu diperkosa pencuri yang menyatroni rumah majikannya di Jalan Kalijudan pukul 10 malam kemarin. Saat itu majikan dan kedua anaknya sedang berada di luar kota. MS yang ditemui di RS untuk divisum nampak meringkuk ketakutan. Polisi sedang menyelidiki kasus ini. Menurut rekanku yang lebih senior, posku merupakan kotak mati alias sepi berita. Tak ada yang mau ditempatkan di situ. Tapi bagiku justru ada keasyikan tersendiri. Aku mulai menjalin hubungan dengan para satpam rumah sakit, petugas kamar mayat, lalu dokter. Tak jarang aku bermalam di kamar mayat, terutama hari Sabtu dan Minggu, atau hari libur nasional. Tujuannya apalagi jika tak menunggu-nunggu kejadian luar biasa yang bisa dijadikan berita. Berkat berita kolom yang ramai kubuat, aku pun urung dipecat di bulan kedua. Alhamdulillah, gaji Rp 300.000 masih bisa kunikmati, buat bayar ongkos bemo wira-wiri ke rumah sakit dan kantor. Di bulan ketiga, aku berkenalan dengan seorang dokter ahli radiologi. Dia bercerita tentang pemakaian isotop I-131 untuk pengobatan tumor. Latar belakang pendidikanku yang berbau nuklir memudahkanku menyerap penjelasan dokter tersebut. Malam itu untuk pertama kalinya aku menulis box, kisah features tentang pengobatan tumor menggunakan isotop I-131. Malam itu seolah menjadi titik balik karirku sebagai wartawan, pembuktian bahwa aku bisa menulis berita. Setelah itu selangkah demi selangkah aku menjelma menjadi wartawan yang produktif, over produktif malah. Berita apapun bisa kutulis. Mulai kesehatan, kriminal, pendidikan, apapun. Namun aku lebih ditempatkan ke pos kesehatan dan laporan khusus. Di bulan-bulan berikutnya, aku bisa menulis 100, 150, bahkan pernah 200 berita dalam sebulan. Setiap Sabtu dan Minggu aku harus mengisi 2 halaman seorang diri. Kadang dibantu redakturku, Mbak Yul. Panas rasanya otakku, terlalu diperas. Sampai tak bisa berpikir yang lain kecuali berita dan berita. Hanya sekejap memandang aku bisa tahu sebuah peristiwa bisa menjadi berita atau tidak. Hampir tiga tahun aku bertahan di harian itu. Walau produktif menulis, namun hatiku merintih. Aku serupa robot yang mati rasa. Tiap hari melihat mutilasi, kejahatan, perkosaan, atau carok yang berdarah-darah, tak timbul iba di sanubari. Aku menilainya hanya berdasar layak tidaknya sebuah kejadian menjadi berita. Aku mulai bimbang. Beruntung Tuhan menyelamatkanku. Suatu peristiwa membuatku keluar, lalu hijrah ke Jakarta untuk bekerja di sebuah majalah wanita yang populer saat itu. Kelak, akupun keluar dari majalah tersebut. Dunia pers formal kurasa memang bukan untukku. Aku kembali ke panggilan hati yang pertama, berpetualang, melihat dunia, membantu akar rumput sebisa mungkin, lalu menuliskannya agar orang lain pun bisa belajar dan menelaah. Walau bukan pekerjaan yang membuatku kaya, setidaknya bisa menentramkan hati. Walau bukan menjadi siapa-siapa, setidaknya aku bisa berteman dengan angin dan memandang layang-layang terbang tinggi.
Tags: memoar, kerjapertama
Kematian bapak yang tiba-tiba masih menimbulkan luka. Sayangnya, aku tak bisa menangis. Jadi pelarianku hanya berjalan, berjalan, dan terus berjalan. Kususuri bumi timur Indonesia, makan asal kenyang, tidur di emperan jalan, dan terus bertemu manusia baru, belajar memandang dunia dari sisi yang lain. Dua bulan kemudian aku pulang ke rumah. Banyak panggilan untuk mengikuti tes kerja. Namun semua kujalani dengan setengah hati. Hanya awal tes yang kuikuti, demi menyenangkan hati ibu. Tes di Astra, Garuda, termasuk panggilan menjadi reporter majalan musik Hai. kusia-siakan. Ada malas, segan. Aku hanya ingin berpetualang. Soal makan, cukup kudapat dari honor tulisan yang sesekali masuk majalah Gadis atau buletin dongeng anak. Suatu hari dibuka lowongan kerja menjadi reporter sebuah harian di kotaku, Surabaya. Lokasi harian itu hanya 4 km dari rumah. Dengan ogah-ogahan aku pun menyerahkan lamaran. Lalu maju dalam tes tulis, wawancara, hingga training yang cuma seminggu. Hanya 12 orang yang lolos dari beratus pelamar. Kami pun mulai memasuki masa percobaan. Di bulan pertama masa percobaan, tak satu berita pun kutulis. Ternyata aku tak bisa menulis reportasi. Teori apa itu angle, point of view, hingga lead tak masuk dalam otakku. Apalagi membedakan mana straight news mana features. Nol putul deh ! Kupikir aku sudah salah haluan. Dunia wartawan bukan untukku. Redakturku pun bingung. Aku ditempatkan di berbagai macam pos, tapi selalu gagal. Mulai politik, pendidikan, ekonomi, olahraga, bahkan hiburan. Aku sudah pasrah, ikhlas dipecat bulan berikutnya. Suatu hari, redaktur olahraga memintaku menerjemahkan sebuah artikel tentang legenda sepakbola Inggris. Kira-kira begini terjemahanku, Gol Yang Amat Unik Kisah nyata ini terjadi dalam partai Barrow vs Plymouth ARgyle di Kompetisi Divisi III Liga Inggris, November 1968. Pertandingan berakhir 1-0 untuk Barrow. Yang unik dari kisah ini adalah proses terjadinya gol. Tendangan striker Barrow, Augus McLean, mengenai kaki kanan wasit Ivan Robinson, kemudian bola berubah arah dan melesat ke sudut kanan atas gawang Plymouth Argyle. Gol! Ya, gol ini sah. Gol yang berasal dari pantulan bola dari kaki wasit Ivan Robinson ini sah. Robinson pun membunyikan peluit tanda gol. Terjemahan 12 alinea ini mendapat pujian dari Dahlan Iskan, pimpinan redaksi saat itu. Pujian yang menyelamatkanku dari pemecatan. Jika Anda menemukan diri Anda bingung dengan apa yang Anda telah membaca hingga saat ini, jangan putus asa. Semuanya harus jelas pada saat Anda selesai.Di bulan kedua kondisiku sedikit membaik. Ada peningkatan. Aku menjadi spesialis kolomer. Betul, aku hanya bisa menulis berita dalam satu kolom. Itu pun setelah diposkan di RS, IRD maupun kamar mayat. Misalnya kasus pembuangan bayi, mutilasi, pembunuhan, perkosaan, dan lain-lain. Berita yang kutulis pun bentuknya seperti : Ditemukan mayat bayi di tepi Kali Surabaya, jam 10.00 oleh Suwarno, pemulung setempat. Diduga mayat bayi yang terbungkus dalam tas kresek hitam itu hasil hubungan gelap. Polisi masih melacak pelaku pembuangan bayi tersebut. atau Malang nian nasib Ms, 17 th. Prt itu diperkosa pencuri yang menyatroni rumah majikannya di Jalan Kalijudan pukul 10 malam kemarin. Saat itu majikan dan kedua anaknya sedang berada di luar kota. MS yang ditemui di RS untuk divisum nampak meringkuk ketakutan. Polisi sedang menyelidiki kasus ini. Menurut rekanku yang lebih senior, posku merupakan kotak mati alias sepi berita. Tak ada yang mau ditempatkan di situ. Tapi bagiku justru ada keasyikan tersendiri. Aku mulai menjalin hubungan dengan para satpam rumah sakit, petugas kamar mayat, lalu dokter. Tak jarang aku bermalam di kamar mayat, terutama hari Sabtu dan Minggu, atau hari libur nasional. Tujuannya apalagi jika tak menunggu-nunggu kejadian luar biasa yang bisa dijadikan berita. Berkat berita kolom yang ramai kubuat, aku pun urung dipecat di bulan kedua. Alhamdulillah, gaji Rp 300.000 masih bisa kunikmati, buat bayar ongkos bemo wira-wiri ke rumah sakit dan kantor. Di bulan ketiga, aku berkenalan dengan seorang dokter ahli radiologi. Dia bercerita tentang pemakaian isotop I-131 untuk pengobatan tumor. Latar belakang pendidikanku yang berbau nuklir memudahkanku menyerap penjelasan dokter tersebut. Malam itu untuk pertama kalinya aku menulis box, kisah features tentang pengobatan tumor menggunakan isotop I-131. Malam itu seolah menjadi titik balik karirku sebagai wartawan, pembuktian bahwa aku bisa menulis berita. Setelah itu selangkah demi selangkah aku menjelma menjadi wartawan yang produktif, over produktif malah. Berita apapun bisa kutulis. Mulai kesehatan, kriminal, pendidikan, apapun. Namun aku lebih ditempatkan ke pos kesehatan dan laporan khusus. Di bulan-bulan berikutnya, aku bisa menulis 100, 150, bahkan pernah 200 berita dalam sebulan. Setiap Sabtu dan Minggu aku harus mengisi 2 halaman seorang diri. Kadang dibantu redakturku, Mbak Yul. Panas rasanya otakku, terlalu diperas. Sampai tak bisa berpikir yang lain kecuali berita dan berita. Hanya sekejap memandang aku bisa tahu sebuah peristiwa bisa menjadi berita atau tidak. Hampir tiga tahun aku bertahan di harian itu. Walau produktif menulis, namun hatiku merintih. Aku serupa robot yang mati rasa. Tiap hari melihat mutilasi, kejahatan, perkosaan, atau carok yang berdarah-darah, tak timbul iba di sanubari. Aku menilainya hanya berdasar layak tidaknya sebuah kejadian menjadi berita. Aku mulai bimbang. Beruntung Tuhan menyelamatkanku. Suatu peristiwa membuatku keluar, lalu hijrah ke Jakarta untuk bekerja di sebuah majalah wanita yang populer saat itu. Kelak, akupun keluar dari majalah tersebut. Dunia pers formal kurasa memang bukan untukku. Aku kembali ke panggilan hati yang pertama, berpetualang, melihat dunia, membantu akar rumput sebisa mungkin, lalu menuliskannya agar orang lain pun bisa belajar dan menelaah. Walau bukan pekerjaan yang membuatku kaya, setidaknya bisa menentramkan hati. Walau bukan menjadi siapa-siapa, setidaknya aku bisa berteman dengan angin dan memandang layang-layang terbang tinggi.
Tags: memoar, kerjapertama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar